Senin, 27 Agustus 2012

-Ancaman GlobalisasiI Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

Tantangan Eksternal: Digdaya Kapital di Era Globalisasi[5]
Globalisasi[6] tidak dapat dihindari seiring dengan menguatnya dominasi pasar bebas yang didorong pula dengan terbentuknya regionalisme ekonomi maupun regionalisme politik[7] serta munculnya aktor intergovermental organization seperti Internatioanl Monetary Funds (IMF), International Bank for Reconstruction and Develompment (IBRD/’World Bank’) dan World Trade Organization (WTO).[8] Waters (1996:3) dalam Rod Hague, et,al (1998:39) mendefinisikan globalisasi sebagai ‘a process in which constraints of geography on social and cultural arrangements recede and in which people become increasingly aware that they are receding’. Secara sederhana definisi Waters menunjukkan bahwa batas dunia telah menghilang (deteritorialisasi) dan masyarakat semakin didorong untuk menjadi satu komunitas global. Globalisasi dalam ranah ekonomi ini semakin kuat didukung oleh inter-governmental organization dan perangkat-perangkat perdagangan bebas lainnya. Semua menjadi bisnis, termasuk ranah pendidikan yang menjadi ranah krusial pembangunan manusia.
Globalisasi tidak hanya ditandai dengan pasar bebas, namun ada pula gejala gejala yang lain. Abdurrahman (2012) menyebut 4 fenomena globalisasi yakni, Etno-Escape, Capital-Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape.[9] Dari empat fenomena globalisasi tersebut, Capital-Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape memiliki pengaruh besar bagi dunia pendidikan kita. Capital-Escape menekankan pada perputaran uang untuk menjamin kelangsungan sistem global, oleh karenanya peran negara diminimalisir (Stateless). Negara hadir hanya dalam keperluan memberikan regulasi dan nampaknya semangat itu yang hadir dalam RUU Perguruan Tinggi yang saat ini sedang dibahas di legislatif.[10]
Struktur perdagangan dunia membuat negara lemah dalam memberikan fungsi pendidikan/pendidikan menjadi komoditas. Akibatnya pendidikan hanya teruntuk bagi mereka yang memiliki daya beli, ini bertentangan dengan tujuan negara yang tercantum dalam preambule UUD 1945 yang mengatakan bahwa salah satu fungsi negara adalah “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”. Perubahan ini sangat berbahaya karena mengubah pendidikan yang semula menjadi hak warga negara (Citizenship) menjadi pilihan bagi mereka yang memiliki daya beli (Costumer). Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 230 juta jiwa adalah lahan menguntungkan bagi industri pendidikan.
Peran negara yang minim untuk mengakomodasi kepentingan bisnis, mendapatkan tantangan dari efek globalisasi yang lain, yakni Media-Escape. Anak muda dilihat sebagai market yang sangat potensial bagi kepentingan bisnis, oleh karenanya media menjadi alat untuk memacu daya konsumtif masyarakat agar modal tetap dapat berputar.[11]
Secara tidak langsung, logika kompetisi (logika pasar) menjadi dasar pengelolaan pendidikan kita sekarang ini.[12] Logika ini didukung dengan logika standarisasi global yang lahir melalui globalisme. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat, terutama nilai nilai Pancasila. Kita dapat melihat proses pendidikan yang menyamakan kemampuan anak ini dengan menggunakan alat penilaian (assesment)/standar yang sama, yakni Ujian Nasional (UN). Visi dan kepentingan negara dalam dunia pendidikan menjadi tidak perlu dikarenakan hal yang terpenting adalah bagaimana agar modal tetap dapat berputar di Indonesia.
C.   Tantangan Internal: Dinamika Negara-Masyarakat
Disadari atau tidak, peran menjalankan pendidikan yang gagal dijalankan oleh Negara telah disubstitusi oleh Organisasi Sosial Masyarakat. Kita mengenal ada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif memperkuat modal sosial masyarakat dan menjalankan fungsi pendidikan. Apabila kita sudah membicarakan bahwa dari “atas” terdapat negara dan kepentingan bisnis yang menjalankan fungsi pendidikan. Pada bagian ini kita akan membicarakan bagaimana pendidikan di dorong dari “bawah”.
Tanpa disadari, sebenarnya terdapat benturan yang sangat kuat antara tradisi dan modernitas dalam dunia pendidikan. Untuk pembahasan dalam paper ini, kita dapat menyebut terdapat benturan negara dan masyarakat. Barangkali untuk Muhammadiyah tidak ada persoalan antara desain pemerintah dan model sekolah yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Namun bagi NU dengan pondok pesantren-nya, barangkali ada persoalan pelik terkait dengan desain pendidikan oleh pemerintah. Pondok pesantren suka tidak suka harus menyesuaikan dengan format negara. Disadari atau tidak, dinamika negara-masyarakat yang cukup kuat ini memudahkan kepentingan bisnis untuk menguasai dunia pendidikan.
Terdapat perbedaan desain pendidikan di pesantren dan sekolah formal. Pada sekolah formal, pendidikan mengedepankan aspek pengembangan kognisi siswa didik, sedangkan penekanan pengembangan pendidikan di pondok pesantren mengedepankan aspek ilmu dan perilaku/ilmu dan amal. Artinya pengembangan ilmu harus memiliki kegunaan kepada masyarkat.
Purwo Santoso (2012) mengutip perkataan Yudian Wahyudi yang mengatakan bahwa terdapat krisis Kyai dikarenakan banyak anak pondok Pesantren yang takut tidak mendapatkan pekerjaan apabila menjadi Kyai. Akibatnya banyak santri yang memilih untuk mengambil pendidikan formal di universitas.[13] Standarisasi yang dilakukan oleh pemerintah memaksa pondok pesantren untuk melakukan penyesuaian dengan merubah kurrikulum dan membentuk lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan formal negara.
Desain pendidikan dari negara yang mengedepankan aspek kognisi tanpa mengidahkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Tarikan antara negara dan masyarakat menjadi tarikan antara modern dan tradisional. Pengaruh dari globalisme muncul ketika nilai-nilai lokal masyarkat tidak terakomodasi dalam desain pendidikan. Pendidikan lebih mengedepankan aspek kognisi dari peserta didik, sedangkan nilai-nilai lokal sebagai dasar moralitas tidak mendapatkan perhatian.
Desain pendidikan yang dibangun menempatkan masyarakat kita pada kerentanan sosial yang tinggi, ditambah lagi dengan tantangan global dengan pengaruh Ideo-Escape dan Media-Escape. Sebagai contoh fundamentalisme Islam dapat masuk melewati batas negara, ini menjadi potensi konflik horizontal apabila tidak segera diantisipasi karena dapat berbenturan dengan masyarakat tradisi. Media-Escape dapat berpengaruh terhadap kerentanan sosial masyarakat (risk society) disebabkan masyarakat mendapatkan banyak informasi dari banyak sumber (menjadi manusia multidimensional). Masyarakat dalam era global berada pada kerentanan konflik sosial horizontal dan vertikal yang luar biasa. Apabila persoalan ini tidak dapat ditanggulangi, maka kepentingan bisnis akan dengan mudahnya memainkan modalnya, dalam konteks ini di dunia pendidikan.
D.   Mencari Jalan Keluar, Membangun Pendidikan di Indonesia
Generasi muda secara tidak sadar terhimpit oleh banyak kepentingan didalam dunia pendidikan. Sayangnya mereka hanya menjadi obyek desain pendidikan yang ada sekarang ini. Dominasi kepentingan bisnis didalam pengelolaan pendidikan telah masuk pada ranah negara dan masyarakat sipil melalui standarisasi yang menjadi nafas globalisme. Akibatnya karakter manusia Indonesia yang terbentuk adalah market minded. Karakter yang terbentuk ini tidak sesuai dengan agenda bangsa/nasional karena tidak ada keterikatan dengan masyarkat dan cenderung profit oriented.[14]
Kita harus mengembalikan pendidikan kedalam kerangka nasional/negara.[15] Hubungan yang harus dibangun adalah hubungan antara negara dan warga negara. Logika dan kekuasaan kepentingan bisnis saat ini sangat berbahaya disebabkan oleh karakter dari kekuatan modal yang tidak mengenal batas teritorial negara. Akibatnya kepentingan bisnis tidak memiliki tanggung jawab moral apapun terhadap negara dan masyarakat. Sifat modal yang berpindah-pindah harus kita waspadai dan sudah saatnya kita kembali mengatakan dan berikhtiar bahwa pendidikan bukan sektor yang diperjual belikan dan menjadi salah satu amanah berdirinya Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam preambule.
Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai Tri Pusat[16] pendidikan sangat bagus namun ada tantangan serius terhadap konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut, yakni perkembangan teknologi dan arus informasi yang cukup pesat. Perkembangan teknologi informasi ini telah masuk ke ranah domestik/keluarga hingga individu. Situasi ini berbeda dengan pada masa Ki Hadjar Dewantara dahulu.
Saat ini masyarakat dan keluarga tidak lagi menjadi institusi yang kuat, padahal melalui keluarga dan masyarakat inilah landasan moral diletakkan. Hal ini seiring juga dengan melemahnya peranan ibu dalam mendidik meski secara insting, seorang ibu memiliki naluri mendidik anaknya. Tidak jarang peran ibu yang mendidik dan meletakkan fondasi moral digantikan oleh pembantu rumah tangga dalam keluarga modern (Wuryadi, 2012).
Untuk keluar dari jerat industrialisasi pendidikan, maka diperlukan sinergi antara negara dan masyarakat sipil. Sinergi strategis ini menekankan bahwa persoalan pendidikan bukan hanya ada pada ranah negara yang juga pada saat ini terbatas kemampuannya. Akan tetapi ranah pendidikan juga merupakan wilayah dari masyarakat sipil yang menghadapi problema kehidupan sehari-hari. Kolaborasi keduanya akan menjadi counter terhadap penguasaan pendidikan oleh kepentingan bisnis.
Hal yang tidak kalah penting dari sinergi negara-masyarakat dalam membangun pendidikan adalah pembangunan strategi pendidikan dan strategi kebudayaan. Tidak ada bentuk perkembangan pendidikan yang keluar dari akar budaya peradabannya, oleh karena itu budaya merupakan bagian yang melekat dengan pendidikan itu sendiri (Wuryadi, 2012).
1.     Strategi Pendidikan
Menggunakan fram sinergi dari negara-masyarakat ini, kita perlu menyusun pendidikan dan terutama sekali materi pendidikan yang terkait dengan kepentingan nasional. Kita harus mengubah kurriku um pembelajaran disamping memperkuat kapabilitas aktor pelaksana pendidikan seperti guru. Untuk itu kita perlu menyadari terlebih dahulu bahwa pengembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari kekuasaan (Samuel, 2010; Santoso, 2011; Nugroho, 2012). Ilmu pengetahuan seharusnya dikembangkan dalam desain kepentingan dan dalam hal ini kepentingan bangsa dan negara.
Studi yang dilakukan oleh Samuel (2010) menunjukkan bahwa ilmu lekat dengan kekuasaan dan digunakan untuk menguasai dari jaman kolonialisme hingga masa orde lama.[17] Ilmu tidak hanya dikembangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan saja, namun juga harus dikembangkan untuk kepentingan bangsa dan negara (Sukarno, 1951). Pendidikan yang ada sekarang mendidik siswa didik menjadi “kuli” dengan menimpor dan meniru-niru pengetahuan tanpa ada proses refleksi (Santoso, 2012).  Sinergi antara negara-masyarakat menjadi krusial disini, dimana negara melalui sekolah turut serta dalam mengakomodasi nilai-nilai luhur (local wisdom) yang ada didalam masyarakat sebagai desain dari pendidikan itu sendiri.
Desain pembelajaran yang dikembangkan masuk dalam kerangka bangsa dan negara dan ditujukan untuk mengatasi persoalan yang ada di masyarakat. Jika pengeloaan dan pengembangan pendidikan dengan cara ini tidak segera dilakukan, maka kita akan terus menerus berada pada kondisi ketergantungan dengan negara lain. Contoh kongkritnya, kita harus dapat mengembangkan industri nasional dan menciptakan teknologi yang dapat menopang kemajuan bangsa Indonesia. Jika tidak, kita akan dalam lingkaran ketergantungan (dalam hal ini teknologi) secara terus menerus. Titik terang ini sebenarnya sudah ada dengan produk mobil SMK yang cukup menghebohkan beberapa waktu yang lalu.
2.     Strategi Kebudayaan
Pada dasarnya kebudayaan seharusnya tumbuh secara natural. Namun sejarah Indonesia mencatat bahwa pembangunan peradaban di Indonesia tidak pernah tuntas (Wuryadi, 2012). Pembangunan kebudayaan dapat dilakukan dengan memperkuat ketahanan masyarakat[18] dan membuka ruang bagi ekspresi-ekspresi budaya dalam  interaksi sosial masyarakat. Untuk membangun ini, maka logika industri pendidikan harus dihilangkan karena hal ini mengasingkan manusia dari kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan menjadi pionir dari pembentukan peradaban yang kemudian menjadi dasar dari moralitas. Oleh karena itu perlu untuk dibangun ruang-ruang sosial untuk pengembangan budaya. Dengan kata lain, pembangunan sudah seharusnya tidak terpaku pada pembangunan ekonomi an sich tapi juga mengembangkan pembangunan menggunakan pendekatan budaya (Joesoef, 2012). Barangkali pendekatan budaya ini dapat  memberikan ruang bagi pembangunan perabadan Indonesia melalui terbukanya ruang interaksi sosial. Mengingat tantangan globalisasi akan budaya sangat nyata, yakni mensubsitusi budaya lokal dengan budaya global sehingga masyarakat menjadi masyarakat global/beridentitas global (Abdurrahman, 2012, Tilaar, 2009:4).
Kembali ke penjabaran awal dalam paper ini, dominasi dari kepentingan bisnis dalam dunia pendidikan telah melahirkan keterjarakan antara siswa didik dengan realitas masyarakatnya. Hal ini disebabkan pendidikan mendesain siswa didik menjadi market minded. Sekolah menjadi tempat pendidikan yang mudah dikuasai karena memiliki dasar pengaturan (Wuryadi, 2012), karakter yang dibangunpun adalah karakter cari untung karena pendidikan didesain untuk membangun kompetensi mencari uang (Santoso, 2012).
Oleh karena itu, modal sosial (social capital) masyarakat menjadi kata kunci untuk memperkuat kebudayaan. Masyarakat harus dijamin penghidupannya termasuk dalam ranah pendidikan. Apabila landasan moral yang diletakkan melalui kebudayaan ini gagal, tidak heran banyak sekali orang cerdas di negeri ini yang perilakunya negatif seperti melakukan korupsi.
E.    Simpulan
Sinergi negara dan masyarakat perlu dikedepankan untuk mengatasi industrialisasi pendidikan di Indonesia. Karakter manusia Indonesia yang terbentuk berorientasi pada kepentingan bisnis (market oriented) yang disebabkan oleh dominasi kepentingan bisnis dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, manusia yang terbentuk dari pola didik ini tercerabut dari akar sosial masyarkatnya sendiri.
Negara harus kembali kuat didalam pengelolaan pendidikan dengan sinergi dengan masyarakat sipil agar manusia Indonesia yang dihasilkan benar-benar mengatasi masalah di masyarakatnya. Pendidikan harus dilepaskan dari jerat industri dan kembali kedalam bingkai kepentingan bangsa dan negara. Pendidikan harus kembali menjadi sektor yang tidak diperjualbelikan karena fungsi pendidikan merupakan salah satu amanat berdirinya Republik Indonesia, yakni “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Untuk itu sekali lagi, sinergi antara negara dan masyarakat harus kokoh. Terutama kontrol masyarakat kepada pemerintah untuk mendorong de-industrialisasi pendidikan. Masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan[19] dan negara yang memiliki kesadaran untuk mengembalikan pendidikan dalam bingkai kepentingan bangsa dan negara sangat diperlukan untuk pendidikan kita. Agenda yang tidak kalah penting adalah pembahasan bersama strategi pendidikan dan strategi kebudayaan sebagai desain besar pendidikan di Indonesia.
Karakter manusia Indonesia yang berorientasi pada bisnis terjadi disebabkan oleh kekuatan bisnis yang cukup besar. Argumentasi dalam paper ini hendak mengatakan bahwa dominasi dari kekuatan bisnis harus segera dihentikan dengan menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor yang tidak diperjualbelikan karena menjadi amanah berdirinya Republik Indonesia, perlunya sinergi antara negara-masyarakat untuk mendukung pengembangan pendidikan dan kebudayaan, perlunya pengembangan keilmuan[20] yang menjawab persoalan riil di masyarakat dan perlunya kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sinergi dan kontrol dari masyarakat ini menjadi penting karena selama ini masyarakat hanya dijadikan obyek dari pendidikan.
Tulisan ini hanya berhenti pada tahap deskripsi permasalahan yang ditemui didalam dunia pendidikan di Indonesia pada masa globalisasi sekarang ini. Tulisan ini masih jauh dari sempurna dan kita masih perlu untuk mendiskusikan lebih lanjut terkait pendidikan di Indonesia. Terutama terkait dengan strategi pendidikan dan strategi kebudayaan yang membutuhkan elaborasi dan kajian lebih dalam lagi. Semua untuk kemajuan dan kebangkitan pendidikan yang berkarakter Indonesia.

- Perkuat Karakter Bangsa dengan Pendidikan Budi Pekerti

Sumber : TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -
Indonesia harus memperkuat jati diri dan karakter kebangsaannya dengan menerapkan kembali pendidikan budi pekerti di sekolah dan perguruan tinggi.
Fondasi budi pekerti ini sangat penting dan relevan di tengah perubahan sosial dan politik yang cukup cepat di Tanah Air.
Dengan dasar pendidikan budi pekerti yang kuat, maka masyarakat memiliki modal yang cukup dalam berinteraksi sosial sehingga berbagai perilaku negatif yang kini marak di masyarakat, bisa dieliminir.
“Pendidikan budi pekerti yang pada masa Orde Baru dihapus, mestinya masuk lagi dalam sistem pendidikan kita. Sebab manusia seutuhnya dibangun dari pendidikan budi pekerti dan pendidikan karakter. Jika suatu ketika seseorang jadi pemimpin, pengusaha, dan juga birokrat, sudah memiliki dasar yang kukuh soal nilai, moral, etika, dan budi pekerti,” ujar Pembina Yayasan Pendidikan Bakrie, Iwan Djarot, Rabu (13/6/2012).
Dia dan banyak kalangan, saat ini geliasah atas makin runtuhnya moral dan karakter bangsa Indonesia. Pentingnya pendidikan budi pekerti dan karakter ini dikemukakan karena saat ini pelajar, calon mahasiswa dan orang tua tengah sibuk mencari sekolah dan kampus bagi putera puterinya untuk melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya.
Menurut Iwan Djarot, lemahnya fondasi budi pekerti, nilai moral, dan karakter serta budaya bangsa Indonesia mengakibatkan kita seperti kehilangan arah untuk membawa bangsa ini lebih maju. Tidak seperti bangsa Jepang, Korea, atau China yang memiliki semangat kebangsaan yang tinggi dan keinginan mengalahkan kehebatan bangsa lain.
“Jangan-jangan kita tidak memiliki kepentingan nasional.Celakanya lagi, tujuan nasional Indonesia pun, kita tidak punyai. Sungguh ironis, sebagai bangsa besar yang memiliki peradaban dan kebudayaan tinggi, seolah limbung menghadapi perubahan. Karena itu kembali pada karakter bangsa dan menanamkan pendidikan budi pekerti,” papar Iwan.
Iwan Djarot yang juga Presiden Komisaris Bakrieland menceritakan pengalamannya saat berada di China. Sejumlah elemen masyarakat yang ditanya tentang masa depan China, jabawannya mencengangkan, mereka ingin lebih maju dari Amerika Serikat di semua bidang. Dan jalan ke arah sana kini mulai terlihat.
“Jadi, sangat penting menanamkan kebangsaan dan kehebatan Indonesia pada anak-anak sejak dini,” katanya.
Hanya Kemampuan Teori
Iwan Djarot yang alumnus Tehnik Sipil Trisakti, 1997 dan Technische Hoge School, Delf, Belanda 1981, mencermati, sistem pendidikan kita saat ini hanya mengejar kemampuan teori dan prestasi akademis semata, kurang memperhatikan kemampuan keterampilan.
Jadi, ketika para mahasiswa sama-sama lulus, akan ada perbedaan, mahasiswa terampil dan mahasiswa yang hanya menguasai teori saja. Hal itu berpengaruh di kemudian hari saat bekerja.
“Menurut saya, saat ini dibutuhkan lebih banyak institute, untuk menghasilkan lulusan yang terampil, bukan perbanyak universitas yang banyak menghasilkan sarjana S1, tapi minim keterampilan, yang akhirnya banyak mengganggur,” ujar Iwan sambil menambahkan jika perlu ada pendidikan khusus misalnya setahun untuk pembantu rumah tangga dan juga pendidikan untuk baby sitter.
Dalam konteks pendidikan budi pekerti dan karakter ini, Iwan Djarot juga menyinggung memudarnya nilai-nilai keperwiraan atau sikap gentlemen. Ini terlihat ketika pemilukada dan juga pemilu presiden, pihak yang kalah tidak mau mengakui pihak yang menang dan ujungnya timbul konflik diantara para pendukung kandidat.

-18 Nilai Pendidikan Karakter



1. Religius : Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

3. Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin : Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras : Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis : Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan : Cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air : Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai Prestasi : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/Komunikatif : Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai : Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung-Jawab : Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.