Minggu, 30 September 2012

Mempola Karakter Remaja


Wujud watak pemuda saat ini akibat bentukan masa lalunya (pola asuh dan lingkungan). Benar adanya bila dikatakan“Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan masamu dulu”. Kondisi dan situasi boleh berbeda, tetapi dalam hal-hal tertentu harus sama seperti takwa kepada Tuhan YME, taat pada orang tua, gigih dalam belajar dan seterusnya. Tampak dalam dasa warsa terakhir ini, dimana persoalan dekadensi moral semakin memprihatinkan –khususnya kaula muda, bukan orang tua-, mengapa demikian ? Pertama, Karena di tangan pemudalah terletak masa depan bangsa, akan menjadi apa dan dibawa kemana suatu negara, sepenuhnya tergantung pada generasi mudanya. Kedua, Kenakalan orang tua terbatas jumlahnya, dan usianya sudah tidak produktif lagi.

 

Kata orang, usia remaja adalah usia mencari identitas diri dan pada masa itu remaja akan mengalami berbagai tantangan dan hambatan, mulai dari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, sampai tahap penemuan sosok yang pas bagi pribadinya. Sedikit keanehan (cara berpakaian, gaya omongannya) menjelang remaja itu merupakan hal biasa, yang tidak lazim kalau kenakalan remaja itu sudah mengarah pada tindakan kriminal (miniman minuman keras, narkoba, dsb).

 

Kenakalan remaja merupakan mata rantai yang panjang, yang tak terpisahkan dengan elemen lainnya. Sikap orang tua dan lingkungan akan mewarnai lembaran kepribadiannya, karena mereka begitu rapuh dan rentan terhadap pengaruh luar. Oleh karena itu, kalau berbicara soal pembentukan karakter remaja, ada perbedaan yang cukup mendasar antara paradigma Islam dengan teori lainnya. misalnya, Schopenhauer, Spinoza dan Lery Braille. Para pakar ini berargumen bahwa keadaan baik-buruk anak manusia adalah bawaan, ibarat anak domba yang jinak dan anak singa yang galak.

 

Secara logika : Untuk apa Tuhan menurunkan kitab dan mengutus para rasulNya ? mengapa pemerintah harus repot-repot menentukan kurikulum dan peraturan, serta berpayah-payah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi ? demikian pula, mengapa pemerintah harus repot-repot memilih dan menyeleksi guru-guru yang berkualitas untuk menangani pendidikan dan pengajaran ?. Bukanlah semua itu dimaksudkan untuk kepentingan pendidikan, pengajaran, pembentukan moral dan meluruskan penyelewengan ? Kalau sekarang ada gugatan yang mempertanyakan kualitas pendidikan nasional seperti itu, itu bukan karena kurikulumnya tetapi karena orientasi berpikirnya yang sudah melenceng dan beberapa hambatannya yang tidak tertanggulangi !

 

Dalam realita kehidupan pun teori-teori tersebut tidak terbukti, banyak kasus membuktikan bahwa di suatu tempat yang lingkungannya sangat rusak/bobrok, akhirnya menjadi baik karena ada seorang yang membimbing, mengarahkan dan mempengaruhinya. Secara akal, binatang saja dapat dididik dengan berbagai macam tingkah laku secara khusus, dimana yang ganas menjadi lunak dan penurut. Bagaimana dengan manusia yang justru mempunyai psikis yang lebih komplek ? tentu lebih mudah diarahkan, lebih bisa diajak bercanda, lebih mudah dibetulkan dan diluruskan. Dengan demikian, kalau seseorang dididik dengan akhlak (perilaku yang baik), dibekali ilmu pengetahuan, dibiasakan dengan perbuatan baik, tentu ia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi manusia yang sempurna. Sebaliknya, kalau ia diabaikan dan dibiarkan dalam kebodohan, serta berbaur dalam pergaulan yang rusak, maka tidak diragukan lagi ia akan menjadi rusak pula.

 

Imam ghozali menyatakan, “Anak adalah amanah di pundak orang tuanya. Kalbunya yang suci bersih layaknya mutiara yang tak ternilai harganya. Bila ia dibiasakan dan dididik pada kebaikan, ia akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Kalau ia dibiasakan dan tumbuh dalam lingkungan yang jahat, niscaya ia akan rusak dan menderita. Kalau sudah demikian keadaannya, ia akan sukar untuk dididik dan diarahkan”.

 

Kenakalan remaja yang selama ini diributkan, kebanyakan berpangkal dari perlakuan ibu yang salah, seperti : Memanjakan anak, terlalu keras, dan tidak ada perhatian. Dua peneliti, Elina Steele dan John Pollock pada tahun ’80-an dalam sebuah observasi besar, mereka menemukan sbb: 90 % Gangguan kejiwaan pada remaja akibat perlakuan ibu, 8 % kesalahan ayah, 2 % karena perlakuan buruk ayah dan ibu. Beberapa faktor yang membuat ibu bertindak seperti itu : Psikotik, egosentris, agresif, belum siap menjadi ibu, dan toleransinya kurang terhadap frustrasi

 

Secara teori, faktor sosial yang dituding mempengaruhi sikap ibu yang salah adalah kemiskinan, namun justru ini tidak menonjol. Seorang ibu yang terlalu sibuk, kurang pengetahuan dan pengalaman merupakan penyebab terjadinya kelainan jiwa anak, sehingga mempermudah masuknya pengaruh buruk pada diri si anak. Pada anak kecil penanganannya lebih mudah, tetapi bagi yang dewasa agak susah karena basic trust pada orang lain sudah rusak. Pangkal kacaunya hubungan ayah dan ibu beraneka ragam : Kesal tidak karena mampu memenuhi tuntutan anaknya, bertikai dengan suaminya. Hubungan alamiah antara ibu dan anak berlangsung sejak dalam kandungan (cathexis). Nyatanya untuk menjadi baik/buruk, tidak dapat lepas dari peranan seorang ibu, oleh karena itu Nabi bersabda “bahwa sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu”. Artinya, kalau ibu salah memperlakukan anaknya baik secara psikis (pilih kasih) maupun fisik, akibatnya anak akan mengalami gangguan kejiwaan berat dan ini membuat si anak tercinta kelak akan menjadi duri di tengah-tengah masyarakatnya, naudzu billah min dzalik. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar