Globalisasi[6] tidak dapat dihindari seiring dengan menguatnya dominasi pasar bebas yang didorong pula dengan terbentuknya regionalisme ekonomi maupun regionalisme politik[7] serta munculnya aktor intergovermental organization seperti Internatioanl Monetary Funds (IMF), International Bank for Reconstruction and Develompment (IBRD/’World Bank’) dan World Trade Organization (WTO).[8] Waters (1996:3) dalam Rod Hague, et,al (1998:39) mendefinisikan globalisasi sebagai ‘a
process in which constraints of geography on social and cultural
arrangements recede and in which people become increasingly aware that
they are receding’. Secara sederhana definisi Waters menunjukkan bahwa batas dunia telah menghilang (deteritorialisasi)
dan masyarakat semakin didorong untuk menjadi satu komunitas global.
Globalisasi dalam ranah ekonomi ini semakin kuat didukung oleh inter-governmental organization
dan perangkat-perangkat perdagangan bebas lainnya. Semua menjadi
bisnis, termasuk ranah pendidikan yang menjadi ranah krusial pembangunan
manusia.
Globalisasi tidak hanya ditandai dengan
pasar bebas, namun ada pula gejala gejala yang lain. Abdurrahman (2012)
menyebut 4 fenomena globalisasi yakni, Etno-Escape, Capital-Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape.[9] Dari empat fenomena globalisasi tersebut, Capital-Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape memiliki pengaruh besar bagi dunia pendidikan kita. Capital-Escape menekankan pada perputaran uang untuk menjamin kelangsungan sistem global, oleh karenanya peran negara diminimalisir (Stateless).
Negara hadir hanya dalam keperluan memberikan regulasi dan nampaknya
semangat itu yang hadir dalam RUU Perguruan Tinggi yang saat ini sedang
dibahas di legislatif.[10]
Struktur perdagangan dunia membuat
negara lemah dalam memberikan fungsi pendidikan/pendidikan menjadi
komoditas. Akibatnya pendidikan hanya teruntuk bagi mereka yang memiliki
daya beli, ini bertentangan dengan tujuan negara yang tercantum dalam preambule UUD 1945 yang mengatakan bahwa salah satu fungsi negara adalah “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”. Perubahan ini sangat berbahaya karena mengubah pendidikan yang semula menjadi hak warga negara (Citizenship) menjadi pilihan bagi mereka yang memiliki daya beli (Costumer). Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 230 juta jiwa adalah lahan menguntungkan bagi industri pendidikan.
Peran negara yang minim untuk mengakomodasi kepentingan bisnis, mendapatkan tantangan dari efek globalisasi yang lain, yakni Media-Escape. Anak muda dilihat sebagai market
yang sangat potensial bagi kepentingan bisnis, oleh karenanya media
menjadi alat untuk memacu daya konsumtif masyarakat agar modal tetap
dapat berputar.[11]
Secara tidak langsung, logika kompetisi (logika pasar) menjadi dasar pengelolaan pendidikan kita sekarang ini.[12]
Logika ini didukung dengan logika standarisasi global yang lahir
melalui globalisme. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di
masyarakat, terutama nilai nilai Pancasila. Kita dapat melihat proses
pendidikan yang menyamakan kemampuan anak ini dengan menggunakan alat
penilaian (assesment)/standar yang sama, yakni Ujian Nasional
(UN). Visi dan kepentingan negara dalam dunia pendidikan menjadi tidak
perlu dikarenakan hal yang terpenting adalah bagaimana agar modal tetap
dapat berputar di Indonesia.
C. Tantangan Internal: Dinamika Negara-Masyarakat
Disadari atau tidak, peran menjalankan
pendidikan yang gagal dijalankan oleh Negara telah disubstitusi oleh
Organisasi Sosial Masyarakat. Kita mengenal ada Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif memperkuat modal sosial masyarakat dan
menjalankan fungsi pendidikan. Apabila kita sudah membicarakan bahwa
dari “atas” terdapat negara dan kepentingan bisnis yang menjalankan
fungsi pendidikan. Pada bagian ini kita akan membicarakan bagaimana
pendidikan di dorong dari “bawah”.
Tanpa disadari, sebenarnya terdapat
benturan yang sangat kuat antara tradisi dan modernitas dalam dunia
pendidikan. Untuk pembahasan dalam paper ini, kita dapat menyebut
terdapat benturan negara dan masyarakat. Barangkali untuk Muhammadiyah
tidak ada persoalan antara desain pemerintah dan model sekolah yang
dikembangkan oleh Muhammadiyah. Namun bagi NU dengan pondok
pesantren-nya, barangkali ada persoalan pelik terkait dengan desain
pendidikan oleh pemerintah. Pondok pesantren suka tidak suka harus
menyesuaikan dengan format negara. Disadari atau tidak, dinamika
negara-masyarakat yang cukup kuat ini memudahkan kepentingan bisnis
untuk menguasai dunia pendidikan.
Terdapat perbedaan desain pendidikan di
pesantren dan sekolah formal. Pada sekolah formal, pendidikan
mengedepankan aspek pengembangan kognisi siswa didik, sedangkan
penekanan pengembangan pendidikan di pondok pesantren mengedepankan
aspek ilmu dan perilaku/ilmu dan amal. Artinya pengembangan ilmu harus
memiliki kegunaan kepada masyarkat.
Purwo Santoso (2012) mengutip perkataan
Yudian Wahyudi yang mengatakan bahwa terdapat krisis Kyai dikarenakan
banyak anak pondok Pesantren yang takut tidak mendapatkan pekerjaan
apabila menjadi Kyai. Akibatnya banyak santri yang memilih untuk
mengambil pendidikan formal di universitas.[13]
Standarisasi yang dilakukan oleh pemerintah memaksa pondok pesantren
untuk melakukan penyesuaian dengan merubah kurrikulum dan membentuk
lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan formal negara.
Desain pendidikan dari negara yang
mengedepankan aspek kognisi tanpa mengidahkan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Tarikan antara negara
dan masyarakat menjadi tarikan antara modern dan tradisional. Pengaruh
dari globalisme muncul ketika nilai-nilai lokal masyarkat tidak
terakomodasi dalam desain pendidikan. Pendidikan lebih mengedepankan
aspek kognisi dari peserta didik, sedangkan nilai-nilai lokal sebagai
dasar moralitas tidak mendapatkan perhatian.
Desain pendidikan yang dibangun
menempatkan masyarakat kita pada kerentanan sosial yang tinggi, ditambah
lagi dengan tantangan global dengan pengaruh Ideo-Escape dan Media-Escape. Sebagai
contoh fundamentalisme Islam dapat masuk melewati batas negara, ini
menjadi potensi konflik horizontal apabila tidak segera diantisipasi
karena dapat berbenturan dengan masyarakat tradisi. Media-Escape dapat berpengaruh terhadap kerentanan sosial masyarakat (risk society)
disebabkan masyarakat mendapatkan banyak informasi dari banyak sumber
(menjadi manusia multidimensional). Masyarakat dalam era global berada
pada kerentanan konflik sosial horizontal dan vertikal yang luar biasa.
Apabila persoalan ini tidak dapat ditanggulangi, maka kepentingan bisnis
akan dengan mudahnya memainkan modalnya, dalam konteks ini di dunia
pendidikan.
D. Mencari Jalan Keluar, Membangun Pendidikan di Indonesia
Generasi muda secara tidak sadar
terhimpit oleh banyak kepentingan didalam dunia pendidikan. Sayangnya
mereka hanya menjadi obyek desain pendidikan yang ada sekarang ini.
Dominasi kepentingan bisnis didalam pengelolaan pendidikan telah masuk
pada ranah negara dan masyarakat sipil melalui standarisasi yang menjadi
nafas globalisme. Akibatnya karakter manusia Indonesia yang terbentuk
adalah market minded. Karakter yang terbentuk ini tidak sesuai
dengan agenda bangsa/nasional karena tidak ada keterikatan dengan
masyarkat dan cenderung profit oriented.[14]
Kita harus mengembalikan pendidikan kedalam kerangka nasional/negara.[15]
Hubungan yang harus dibangun adalah hubungan antara negara dan warga
negara. Logika dan kekuasaan kepentingan bisnis saat ini sangat
berbahaya disebabkan oleh karakter dari kekuatan modal yang tidak
mengenal batas teritorial negara. Akibatnya kepentingan bisnis tidak
memiliki tanggung jawab moral apapun terhadap negara dan masyarakat.
Sifat modal yang berpindah-pindah harus kita waspadai dan sudah saatnya
kita kembali mengatakan dan berikhtiar bahwa pendidikan bukan sektor
yang diperjual belikan dan menjadi salah satu amanah berdirinya Negara
Republik Indonesia yang tercantum dalam preambule.
Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai Tri Pusat[16]
pendidikan sangat bagus namun ada tantangan serius terhadap konsep Ki
Hadjar Dewantara tersebut, yakni perkembangan teknologi dan arus
informasi yang cukup pesat. Perkembangan teknologi informasi ini telah
masuk ke ranah domestik/keluarga hingga individu. Situasi ini berbeda
dengan pada masa Ki Hadjar Dewantara dahulu.
Saat ini masyarakat dan keluarga tidak
lagi menjadi institusi yang kuat, padahal melalui keluarga dan
masyarakat inilah landasan moral diletakkan. Hal ini seiring juga dengan
melemahnya peranan ibu dalam mendidik meski secara insting, seorang ibu
memiliki naluri mendidik anaknya. Tidak jarang peran ibu yang mendidik
dan meletakkan fondasi moral digantikan oleh pembantu rumah tangga dalam
keluarga modern (Wuryadi, 2012).
Untuk keluar dari jerat industrialisasi
pendidikan, maka diperlukan sinergi antara negara dan masyarakat sipil.
Sinergi strategis ini menekankan bahwa persoalan pendidikan bukan hanya
ada pada ranah negara yang juga pada saat ini terbatas kemampuannya.
Akan tetapi ranah pendidikan juga merupakan wilayah dari masyarakat
sipil yang menghadapi problema kehidupan sehari-hari. Kolaborasi
keduanya akan menjadi counter terhadap penguasaan pendidikan oleh
kepentingan bisnis.
Hal yang tidak kalah penting dari
sinergi negara-masyarakat dalam membangun pendidikan adalah pembangunan
strategi pendidikan dan strategi kebudayaan. Tidak ada bentuk
perkembangan pendidikan yang keluar dari akar budaya peradabannya, oleh
karena itu budaya merupakan bagian yang melekat dengan pendidikan itu
sendiri (Wuryadi, 2012).
1. Strategi Pendidikan
Menggunakan fram sinergi dari
negara-masyarakat ini, kita perlu menyusun pendidikan dan terutama
sekali materi pendidikan yang terkait dengan kepentingan nasional. Kita
harus mengubah kurriku um pembelajaran disamping memperkuat kapabilitas
aktor pelaksana pendidikan seperti guru. Untuk itu kita perlu menyadari
terlebih dahulu bahwa pengembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari
kekuasaan (Samuel, 2010; Santoso, 2011; Nugroho, 2012). Ilmu pengetahuan
seharusnya dikembangkan dalam desain kepentingan dan dalam hal ini
kepentingan bangsa dan negara.
Studi yang dilakukan oleh Samuel (2010)
menunjukkan bahwa ilmu lekat dengan kekuasaan dan digunakan untuk
menguasai dari jaman kolonialisme hingga masa orde lama.[17]
Ilmu tidak hanya dikembangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan saja,
namun juga harus dikembangkan untuk kepentingan bangsa dan negara
(Sukarno, 1951). Pendidikan yang ada sekarang mendidik siswa didik
menjadi “kuli” dengan menimpor dan meniru-niru pengetahuan tanpa ada
proses refleksi (Santoso, 2012). Sinergi antara negara-masyarakat
menjadi krusial disini, dimana negara melalui sekolah turut serta dalam
mengakomodasi nilai-nilai luhur (local wisdom) yang ada didalam masyarakat sebagai desain dari pendidikan itu sendiri.
Desain pembelajaran yang dikembangkan
masuk dalam kerangka bangsa dan negara dan ditujukan untuk mengatasi
persoalan yang ada di masyarakat. Jika pengeloaan dan pengembangan
pendidikan dengan cara ini tidak segera dilakukan, maka kita akan terus
menerus berada pada kondisi ketergantungan dengan negara lain. Contoh
kongkritnya, kita harus dapat mengembangkan industri nasional dan
menciptakan teknologi yang dapat menopang kemajuan bangsa Indonesia.
Jika tidak, kita akan dalam lingkaran ketergantungan (dalam hal ini
teknologi) secara terus menerus. Titik terang ini sebenarnya sudah ada
dengan produk mobil SMK yang cukup menghebohkan beberapa waktu yang
lalu.
2. Strategi Kebudayaan
Pada dasarnya kebudayaan seharusnya
tumbuh secara natural. Namun sejarah Indonesia mencatat bahwa
pembangunan peradaban di Indonesia tidak pernah tuntas (Wuryadi, 2012).
Pembangunan kebudayaan dapat dilakukan dengan memperkuat ketahanan
masyarakat[18]
dan membuka ruang bagi ekspresi-ekspresi budaya dalam interaksi sosial
masyarakat. Untuk membangun ini, maka logika industri pendidikan harus
dihilangkan karena hal ini mengasingkan manusia dari kebudayaan itu
sendiri.
Kebudayaan menjadi pionir dari
pembentukan peradaban yang kemudian menjadi dasar dari moralitas. Oleh
karena itu perlu untuk dibangun ruang-ruang sosial untuk pengembangan
budaya. Dengan kata lain, pembangunan sudah seharusnya tidak terpaku
pada pembangunan ekonomi an sich tapi juga mengembangkan
pembangunan menggunakan pendekatan budaya (Joesoef, 2012). Barangkali
pendekatan budaya ini dapat memberikan ruang bagi pembangunan perabadan
Indonesia melalui terbukanya ruang interaksi sosial. Mengingat
tantangan globalisasi akan budaya sangat nyata, yakni mensubsitusi
budaya lokal dengan budaya global sehingga masyarakat menjadi masyarakat
global/beridentitas global (Abdurrahman, 2012, Tilaar, 2009:4).
Kembali ke penjabaran awal dalam paper
ini, dominasi dari kepentingan bisnis dalam dunia pendidikan telah
melahirkan keterjarakan antara siswa didik dengan realitas
masyarakatnya. Hal ini disebabkan pendidikan mendesain siswa didik
menjadi market minded. Sekolah menjadi tempat pendidikan yang
mudah dikuasai karena memiliki dasar pengaturan (Wuryadi, 2012),
karakter yang dibangunpun adalah karakter cari untung karena pendidikan
didesain untuk membangun kompetensi mencari uang (Santoso, 2012).
Oleh karena itu, modal sosial (social capital)
masyarakat menjadi kata kunci untuk memperkuat kebudayaan. Masyarakat
harus dijamin penghidupannya termasuk dalam ranah pendidikan. Apabila
landasan moral yang diletakkan melalui kebudayaan ini gagal, tidak heran
banyak sekali orang cerdas di negeri ini yang perilakunya negatif
seperti melakukan korupsi.
E. Simpulan
Sinergi negara dan masyarakat perlu
dikedepankan untuk mengatasi industrialisasi pendidikan di Indonesia.
Karakter manusia Indonesia yang terbentuk berorientasi pada kepentingan
bisnis (market oriented) yang disebabkan oleh dominasi
kepentingan bisnis dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya,
manusia yang terbentuk dari pola didik ini tercerabut dari akar sosial
masyarkatnya sendiri.
Negara harus kembali kuat didalam
pengelolaan pendidikan dengan sinergi dengan masyarakat sipil agar
manusia Indonesia yang dihasilkan benar-benar mengatasi masalah di
masyarakatnya. Pendidikan harus dilepaskan dari jerat industri dan
kembali kedalam bingkai kepentingan bangsa dan negara. Pendidikan harus
kembali menjadi sektor yang tidak diperjualbelikan karena fungsi
pendidikan merupakan salah satu amanat berdirinya Republik Indonesia,
yakni “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Untuk itu sekali lagi, sinergi antara
negara dan masyarakat harus kokoh. Terutama kontrol masyarakat kepada
pemerintah untuk mendorong de-industrialisasi pendidikan. Masyarakat
yang sadar akan pentingnya pendidikan[19]
dan negara yang memiliki kesadaran untuk mengembalikan pendidikan dalam
bingkai kepentingan bangsa dan negara sangat diperlukan untuk
pendidikan kita. Agenda yang tidak kalah penting adalah pembahasan
bersama strategi pendidikan dan strategi kebudayaan sebagai desain besar
pendidikan di Indonesia.
Karakter manusia Indonesia yang
berorientasi pada bisnis terjadi disebabkan oleh kekuatan bisnis yang
cukup besar. Argumentasi dalam paper ini hendak mengatakan bahwa
dominasi dari kekuatan bisnis harus segera dihentikan dengan menjadikan
sektor pendidikan sebagai sektor yang tidak diperjualbelikan karena
menjadi amanah berdirinya Republik Indonesia, perlunya sinergi antara
negara-masyarakat untuk mendukung pengembangan pendidikan dan
kebudayaan, perlunya pengembangan keilmuan[20]
yang menjawab persoalan riil di masyarakat dan perlunya kontrol
masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sinergi dan
kontrol dari masyarakat ini menjadi penting karena selama ini masyarakat
hanya dijadikan obyek dari pendidikan.
Tulisan ini hanya berhenti pada tahap
deskripsi permasalahan yang ditemui didalam dunia pendidikan di
Indonesia pada masa globalisasi sekarang ini. Tulisan ini masih jauh
dari sempurna dan kita masih perlu untuk mendiskusikan lebih lanjut
terkait pendidikan di Indonesia. Terutama terkait dengan strategi
pendidikan dan strategi kebudayaan yang membutuhkan elaborasi dan kajian
lebih dalam lagi. Semua untuk kemajuan dan kebangkitan pendidikan yang
berkarakter Indonesia.