Minggu, 30 September 2012

Proses Pembentukan Karakter


Karakter tidak dapat dibentuk dengan cara mudah dan murah. Dengan mengalami ujian dan penderitaan jiwa karakter dikuatkan, visi dijernihkan, dan sukses diraih ~ Helen Keller



Suatu hari seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong. Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dr sana. Alangkah senang dan leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.

Itulah potret singkat tentang pembentukan karakter, akan terasa jelas dengan memahami contoh kupu-kupu tersebut. Seringkali orangtua dan guru, lupa akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau kasihan pada anak. Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita. Kadangkala kita sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah membuat mereka tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang. Memandulkan kreativitasnya, karena kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka berhasil melewatinya justru menjadi kuat dan berkarakter.
Ada satu anekdot yang sering saya sampaikan pada rekan saya, ataupun peserta seminar. Enak mana makan mie instant dengan mie goreng seafood? Umumnya mereka yang suka mie pasti tahu jika mie goreng seafood jauh lebih enak dari mie goreng instant yang hanya bisa dimasak tidak kurang dari 3 menit. Apa yang membedakan enak atau tidaknya dari masakan mie tersebut? Prosesnya!

Sama halnya bagi pembentukan karakter seorang anak, memang butuh waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau guru (jika memprioritaskan hal ini) untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh upaya, waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta disini jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses ini maka dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang berbeda, disiplin dan memiliki integritas (ucapan dan tindakan sama) terpancar di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan pekerjaan baik bagi orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses pembentukan karakter.
Pada awal pembentukan karakter banyak orangtua dan guru bertanya tentang bagaimana mendisiplinkan anak. Ada 6 proses disiplin yang kami bagikan melalui ebook gratis 6 Cara Mendisiplinkan Anak, bagi anda yang belum memiliki ebook ini silahkan di download gratis disini.
Nah, apakah disiplin saja cukup? Bagaimana dengan proses membentuk karakter yang lain? Pada 06 Agustus 2012, kami akan menerbitkan buku 7 Hari Membentuk Karakter Anak. Di buku ini akan diungkap hal-hal yang sangat jarang diketahui oleh para orangtua dan guru, tentang bagaimana mendidik anak agar tumbuh bahagia dan berkarakter. Disamping itu bukan hanya anak tetapi buku ini juga memberikan pengarahan bagi orangtua dan guru agar sadar membentuk karakter mereka secara mandiri.

Kembali ke pembentukan karakter, ingat segala sesuatu butuh proses. Mau jadi jelek pun butuh proses. Anak yang nakal itu juga anak yang disiplin lho. Tidak percaya? Dia disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau mandi tepat waktu, bangun pagi selalu telat, selalu konsisten untuk tidak mengerjakan tugas dan wajib tidak menggunakan seragam lengkap.
Ada satu kunci untuk menanamkan kebiasaan, ada hukumnya dan hukum itu bernama hukum 21 hari, dalam pembentukan karakter erat kaitannya dengan menciptakan kebiasaan yang baru yang positif. Dan kebiasaan akan tertanam kuat dalam pikiran manusia setelah diulang setiap hari selama 21 hari. Misalnya Anda biasakan anak sehabis bangun tidur untuk membersihkan tempat tidurnya, mungkin Anda akan selalu mengingatkan dan mengawasi dengan kasih sayang (wajib, dengan kasih sayang) selama 21 hari. Tetapi setelah lewat 21 hari maka kebiasaan itu akan terbentuk dengan otomatis. Nah, kini kebiasaan positif apa yang hendak anda tanamkan kepada anak, pasangan dan diri Anda? Anda sudah tahu caranya dan tinggal melakukan saja. Sukses dalam karakter yang terus diperbarui.


By : Timothy Wibowo


Kekuatan Karakter Bagi Masa Depan Anak



“Orang mungkin tidak mengetahui tujuan kehidupannya, tetapi ia harus tahu cara menjalani kehidupan”


Saya melihat salah seorang siswa di lingkungan tempat tinggal saya sangat tekun belajar. Sampai-sampai, ia tidak sempat meluangkan waktu untuk bermain dengan teman sebayanya. Tuntutan sekolah yang begitu banyak membuatnya harus berlama-lama di kamar untuk mentransfer informasi yang ada di buku ke dalam otak atau memorinya. Saya sangat kasihan dengan siswa tersebut. Mengapa? Di satu sisi, siswa tersebut memang terasah kemampuan kognitifnya. Namun di sisi lain, ia mengalami ketimpangan atau kelumpuhan emosional (afektif). Hidup itu seperti naik sepeda, perlu sekali menjaga keseimbangan. Jika keseimbangan tidak terjaga maka akan jatuh.
Melihat siswa tersebut, saya sarankan pada orangtuanya untuk membantu mengatur waktu, agar ia tidak terkurung di dalam kamar, sementara kawan-kawannya asyik bermain. Yang tidak ia sadari, bahwa bermain sebenarnya juga bagian dari proses belajar.

Seperti yang kita ketahui, manusia sebenarnya memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Karena itu, ketika hanya daya cipta (IQ) saja yang diasah, maka terjadi ketidakseimbangan. Lalu apa yang terjadi? Tentunya, efek dari pola pendidikan yang hanya menitik beratkan pada daya cipta (kognisi / IQ) saja dan mengabaikan rasa (afeksi / EQ) dan karsa (action) akan terasa dan terlihat di kala si anak tumbuh dewasa. Si anak tersebut akan lumpuh sosial. Mengapa saya katakan lumpuh sosial? Lumpuh sosial terjadi ketika si anak tidak mampu menjalin hubungan di lingkungan sosialnya. Padahal, dalam setiap pergaulan di masyarakat, baik pergaulan dalam pekerjaan, pergaulan organisasi, pergaulan di sekolah dan lain-lain pasti butuh untuk menjalin hubungan dan bekerjasama dengan sesama. Pada akhirnya bisa menghambat perkembangan potensi dirinya.
Bukankah sudah menjadi kebutuhan mendasar kita sebagai manusia untuk saling bekerjasama. Dengan bekerjasama, sebenarnya kita membuka banyak peluang untuk mempelajari banyak hal. Dengan begitu kita bisa menambah kesempatan untuk mengeksplore diri kita. Inilah letak pentingnya pergaulan dan interaksi sosial.

Dulu, orang tua memang mengarahkan anak-anaknya untuk mengasah IQ-nya. Sebab, IQ yang tinggi diartikan sebagai tingkat kecerdasan yang tinggi pula (dan konon jadi resep sukses kalo IQ tinggi). Namun, sebuah kesadaran baru akhirnya muncul bahwa ada kecerdasan lain yang juga tidak bisa diabaikan, yakni kecerdasan emosional.
Keseimbangan antara kecerdasan kognitif (pengetahuan), perasaan (afektif) dan tindakan (action) akan membangun kekuatan karakter diri yang baik. Karakter diri sangatlah penting peranannya. Sebab, karakter diri adalah cara pikir dan prilaku yang khas dari individu untuk hidup dan bekerjasama dengan sekitarnya.
Terkadang, karakter diri seseorang terasa tidak seimbang. Ada orang yang memiliki ide-ide brilian namun tidak mampu bekerjasama dengan teamworknya. Itu menunjukkan orang tersebut memiliki kecerdasan IQ yang baik sedang kecerdasan emosionalnya buruk. Ada juga orang yang memiliki otak cemerlang, dia juga baik, namun malas bekerja. Itu menunjukkan actionnya lebih lemah dibanding IQ dan EQ nya.

Karakter diri akan semakin kuat jika ketiga aspek tersebut terpenuhi. Karakter diri yang baik ini akan sangat menentukan proses pengambilan keputusan, berperilaku dan cara pikir kita. Yang pada akhirnya akan menentukan kesuksesan kita. Lihat saja, seorang Nelson Mandela meraih simpati dunia dengan ide perdamaiannya. Bunda Teresa menggetarkan dunia dengan rasa cinta dan kepedulian terhadap sesamanya. Bung Karno dengan ide, kegigihan dan kecerdasannya masih terasa bagi kita bangsa Indonesia yang telah melalui tahun millennium.
Semua itu adalah wujud dari kekuatan karakter yang mereka miliki. Ini menegaskan bahwa, karakter seseorang menentukan kesuksesan individu. Dan menurut penelitian, kesuksesan seseorang justru 80 persen ditentukan oleh kecerdasan emosinya, sedangkan kecerdasan intelegensianya mendapat porsi 20 persen.

Membangun Kekuatan Karakter

Pada diri setiap individu memiliki karakternya masing-masing. Lingkungan memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Karakter kita, memiliki peran penting dalam proses kehidupan. Sebab, karakter mengendalikan pikiran dan perilaku kita, yang tentu saja menentukan kesuksesan, cara kita menjalani hidup, meraih obsesi dan menyelesaikan masalah.
Sebenarnya masing-masing dari kita memiliki karakter yang khas. Dan, kekhasan karakter tersebut merupakan kekuatan karakter kita. Sebab, kekhasan atau keunikan itulah yang membedakan kita dengan individu lainnya. Si penghibur akan menebarkan semangat, si pengatur akan memanajemen organisasi. Mereka yang bijak dan tidak suka konflik bisa menjadi pendamai. Itu semua adalah kekuatan karakter. Dan, setiap karakter akan dibutuhkan dalam setiap pergaulan, baik pergaulan kerja, organisasi atau masyarakat.
Ingatlah! Kekuatan karakter harus dibangun sejak awal. Membangun kekuatan karakter bisa dilakukan melalui pendidikan karakter baik di lingkungan formal seperti sekolah, atau non-formal seperti keluarga dan masyarakat. Pendidikan karakter diberikan melalui penanaman nilai-nilai karakter. Bisa berupa pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Output pendidikan karakter akan terlihat pada terciptanya hubungan baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, masyarakat luas dan lain-lain.

Pendidikan karakter tidak hanya diberikan secara teoritik di sekolah, namun juga perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu adalah bukti bahwa pendidikan yang diberikan telah merasuk dalam diri seseorang. Ketika makan bersikap sopan, ketika hendak tidur membaca doa, ketika keluar rumah berpamitan, tekun dan semangat mewujudkan obsesi dan cita-cita, jujur, berbuat baik kepada hewan dan tumbuhan, tidak membuang sampah di sembarang tempat dan lain-lain.
Membangun kekuatan karakter dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen. Sebab, setiap elemen akan berpengaruh dalam proses pembentukan karakter individu. Seorang anak akan meniru dan mengidentifikasi apa yang ada di sekelilingnya. Role model positif akan membentuk karakter yang positif dan sebaliknya role model negatif akan membentuk keprbadian dan karakter negatif. Karena itu, setiap unsur lingkungan hendaknya dibangun secara positif, sehingga karakter anak akan terbentuk secara positif juga.

Lalu bagaimana cara membangun kekuatan karakter itu? Kekuatan karakter akan terbentuk dengan sendirinya jika ada dukungan dan dorongan dari lingkungan sekitar. Bayangkan sebuah lidi tidak akan memiliki daya untuk menghalau sampah-sampah. Namun, jika didukung oleh ratusan lidi yang lain akan membentuk satu kekuatan untuk membersihkan halaman rumah. Begitu juga dengan karakter, akan menjadi kuat ketika didukung oleh lingkungan. Peran keluarga, sekolah, masyarakat sangat dominan dalam mendukung dan membangun kekuatan karakter.
Karakter yang kuat pada akhirnya akan berperan optimal di setiap interaksi sosial. Sehingga, individu dengan karakter kuat tersebut akan memberikan sumbangsih –baik moril atau spirituil- yang berdaya guna bagi sekitarnya.


By : Timothy Wibowo

Mempola Karakter Remaja


Wujud watak pemuda saat ini akibat bentukan masa lalunya (pola asuh dan lingkungan). Benar adanya bila dikatakan“Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan masamu dulu”. Kondisi dan situasi boleh berbeda, tetapi dalam hal-hal tertentu harus sama seperti takwa kepada Tuhan YME, taat pada orang tua, gigih dalam belajar dan seterusnya. Tampak dalam dasa warsa terakhir ini, dimana persoalan dekadensi moral semakin memprihatinkan –khususnya kaula muda, bukan orang tua-, mengapa demikian ? Pertama, Karena di tangan pemudalah terletak masa depan bangsa, akan menjadi apa dan dibawa kemana suatu negara, sepenuhnya tergantung pada generasi mudanya. Kedua, Kenakalan orang tua terbatas jumlahnya, dan usianya sudah tidak produktif lagi.

 

Kata orang, usia remaja adalah usia mencari identitas diri dan pada masa itu remaja akan mengalami berbagai tantangan dan hambatan, mulai dari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, sampai tahap penemuan sosok yang pas bagi pribadinya. Sedikit keanehan (cara berpakaian, gaya omongannya) menjelang remaja itu merupakan hal biasa, yang tidak lazim kalau kenakalan remaja itu sudah mengarah pada tindakan kriminal (miniman minuman keras, narkoba, dsb).

 

Kenakalan remaja merupakan mata rantai yang panjang, yang tak terpisahkan dengan elemen lainnya. Sikap orang tua dan lingkungan akan mewarnai lembaran kepribadiannya, karena mereka begitu rapuh dan rentan terhadap pengaruh luar. Oleh karena itu, kalau berbicara soal pembentukan karakter remaja, ada perbedaan yang cukup mendasar antara paradigma Islam dengan teori lainnya. misalnya, Schopenhauer, Spinoza dan Lery Braille. Para pakar ini berargumen bahwa keadaan baik-buruk anak manusia adalah bawaan, ibarat anak domba yang jinak dan anak singa yang galak.

 

Secara logika : Untuk apa Tuhan menurunkan kitab dan mengutus para rasulNya ? mengapa pemerintah harus repot-repot menentukan kurikulum dan peraturan, serta berpayah-payah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi ? demikian pula, mengapa pemerintah harus repot-repot memilih dan menyeleksi guru-guru yang berkualitas untuk menangani pendidikan dan pengajaran ?. Bukanlah semua itu dimaksudkan untuk kepentingan pendidikan, pengajaran, pembentukan moral dan meluruskan penyelewengan ? Kalau sekarang ada gugatan yang mempertanyakan kualitas pendidikan nasional seperti itu, itu bukan karena kurikulumnya tetapi karena orientasi berpikirnya yang sudah melenceng dan beberapa hambatannya yang tidak tertanggulangi !

 

Dalam realita kehidupan pun teori-teori tersebut tidak terbukti, banyak kasus membuktikan bahwa di suatu tempat yang lingkungannya sangat rusak/bobrok, akhirnya menjadi baik karena ada seorang yang membimbing, mengarahkan dan mempengaruhinya. Secara akal, binatang saja dapat dididik dengan berbagai macam tingkah laku secara khusus, dimana yang ganas menjadi lunak dan penurut. Bagaimana dengan manusia yang justru mempunyai psikis yang lebih komplek ? tentu lebih mudah diarahkan, lebih bisa diajak bercanda, lebih mudah dibetulkan dan diluruskan. Dengan demikian, kalau seseorang dididik dengan akhlak (perilaku yang baik), dibekali ilmu pengetahuan, dibiasakan dengan perbuatan baik, tentu ia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi manusia yang sempurna. Sebaliknya, kalau ia diabaikan dan dibiarkan dalam kebodohan, serta berbaur dalam pergaulan yang rusak, maka tidak diragukan lagi ia akan menjadi rusak pula.

 

Imam ghozali menyatakan, “Anak adalah amanah di pundak orang tuanya. Kalbunya yang suci bersih layaknya mutiara yang tak ternilai harganya. Bila ia dibiasakan dan dididik pada kebaikan, ia akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Kalau ia dibiasakan dan tumbuh dalam lingkungan yang jahat, niscaya ia akan rusak dan menderita. Kalau sudah demikian keadaannya, ia akan sukar untuk dididik dan diarahkan”.

 

Kenakalan remaja yang selama ini diributkan, kebanyakan berpangkal dari perlakuan ibu yang salah, seperti : Memanjakan anak, terlalu keras, dan tidak ada perhatian. Dua peneliti, Elina Steele dan John Pollock pada tahun ’80-an dalam sebuah observasi besar, mereka menemukan sbb: 90 % Gangguan kejiwaan pada remaja akibat perlakuan ibu, 8 % kesalahan ayah, 2 % karena perlakuan buruk ayah dan ibu. Beberapa faktor yang membuat ibu bertindak seperti itu : Psikotik, egosentris, agresif, belum siap menjadi ibu, dan toleransinya kurang terhadap frustrasi

 

Secara teori, faktor sosial yang dituding mempengaruhi sikap ibu yang salah adalah kemiskinan, namun justru ini tidak menonjol. Seorang ibu yang terlalu sibuk, kurang pengetahuan dan pengalaman merupakan penyebab terjadinya kelainan jiwa anak, sehingga mempermudah masuknya pengaruh buruk pada diri si anak. Pada anak kecil penanganannya lebih mudah, tetapi bagi yang dewasa agak susah karena basic trust pada orang lain sudah rusak. Pangkal kacaunya hubungan ayah dan ibu beraneka ragam : Kesal tidak karena mampu memenuhi tuntutan anaknya, bertikai dengan suaminya. Hubungan alamiah antara ibu dan anak berlangsung sejak dalam kandungan (cathexis). Nyatanya untuk menjadi baik/buruk, tidak dapat lepas dari peranan seorang ibu, oleh karena itu Nabi bersabda “bahwa sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu”. Artinya, kalau ibu salah memperlakukan anaknya baik secara psikis (pilih kasih) maupun fisik, akibatnya anak akan mengalami gangguan kejiwaan berat dan ini membuat si anak tercinta kelak akan menjadi duri di tengah-tengah masyarakatnya, naudzu billah min dzalik. 

 

Mewujudkan Pend. Karakter yg Berkualitas


Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Annie Sullivan (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.

By  :  Timothy Wibowo

Senin, 17 September 2012

Peringatan Hari Anak Sedunia






FORUM Anak Komunitas Kota Ambon  memperingati Hari Anak sedunia dengan mengkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual terhadap anak pada 20 November 2010. Direktur Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku Bai Hadjar Tualeka mengatakan, selain aksi kampanye anti kekerasan juga akan digelar dialog antara anak dari Forum Anak Komunitas Kota Ambon dengan anggota Komisi B DPRD Maluku.
Dengan harapan agar pemerintah mendengar pendapat anak dan segera membuat regulasi untuk Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan anak di Maluku untuk mendukung penerapan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Kampanye itu akan kami lakukan dengan berjalan kaki dari jalan Ot. Pattimaepau hingga kawasan Gong Perdamaian Dunia sekitar pukul 09.00 WIT. Kampanye ini untuk memberikan pesan kepada orang dewasa agar tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun, terutama pelecehan seksual. Dialog itu akan dilangsungkan di aula Kanwil Hukum dan HAM Maluku sesudah kampanye," kata Tualeka.
Kegiatan yang sama juga akan digelar di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah dan Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat.***

(dari berbagai sumber)

Langkah Awal Dalam Pendidikan Karakter



Komitmen merupakan langkah awal jika ingin memiliki karakter yang baik, tetapi komitmen seperti apa yang dibutuhkan untuk mensukseskan pendidikan karakter? Yaitu disiplin terhadap pendidikan karakter itu sendiri. Kali ini kita akan membahas dari sudut pandang sekolah.
Suatu ketika saya sempat mempresentasikan tentang pendidikan karakter dan dampaknya terhadap guru dan karyawan sekolah. Saya dan rekan sengaja menyeting agar lingkungan sekolah menjadi padu dengan isu pendidikan karakter yang akan didengungkan oleh sekolah yang bersangkutan. Saat saya menjelaskan tentang peraturan sekolah dan peraturan kelas, terlihat muka yang kurang nyaman, serta respon yang kurang antusias, serta air muka yang seakan berbeban berat menyikapi pelaksanaan pendidikan karakter.
Dan ditengah-tengah acara saya menjelaskan agar sekolah tidak perlu terburu-buru melakukan perombakan besar dalam aturan sekolah. Saya sangat memahami beban guru dalam mengajar dan kegiatan administrasinya, lakukan step by step yang penting ada komitmen dalam pelaksanaannya dan peliharalah disiplin sebagai motor penggerak pendidikan karakter itu sendiri, itu kuncinya. Disiplin, disiplin dan disiplin.

Sekilas saya jelaskan disiplin orang yang hidup di Indonesia dengan dua musim, berbeda dengan negara yang hidup dengan empat musim. Ketangguhan, daya juang dan inisiatif juga berbeda. Kita di Indonesia adalah wilayah yang tantangan secara alamnya cukup sedikit dibandingkan dengan mereka yang hidup di empat musim. Karena salah satu faktor inilah kita perlu belajar disiplin lebih lagi untuk kehidupan yang lebih baik. Disiplin sangat erat dengan kesuksesan, bahkan disiplin ada dalam satu paket dengan kesuksesan. Apapun yang hendak dicapai dalam kesuksesan itu disiplin adalah dasarnya. Bahkan ukuran disiplin sudah diformulasikan secara rinci oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Outlier, bahwa butuh 10.000 jam kedisiplinan untuk menjadi master dalam bidang apapun. Penyanyi, atlet, profesional di bidang bisnis yang sukses telah melewati proses 10.000 jam. Dan anda tahu siapa saja yang telah menjadi master di bidangnya bukan? Sebut saja, Ruth sahayana, Taufik hidayat, Agnes Monica, Purwacaraka, Juna, Rifat Sungkar, Chairul Tanjung, Hermawan Kertajaya dan masih banyak sekali tokoh yang bisa disebut master di bidangnya masing-masing.
Pendidikan karakter cenderung tak akan pernah tersentuh secara nyata jika ada hanya sebatas proses pemahaman tentang karakter atau hanya bersifat informasi tanpa adanya tindakan. Dewasa ini di media cetak, elektronik dan media internet banyak memberitakan tentang kasus jual beli kunci ujian, contek mencontek, plagiatisme, bahkan kasus kriminal yang dilakukan oleh pelajar, itu semua menunjukan bahwa nilai realisasi karakter bangsa tidak terwujud nyata. Fenomena ini muncul akibat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Faktor yang mempengaruhi antara lain :
  1. Rendahnya sarana fisik
  2. Rendahnya kualitas guru
  3. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
  4. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
  5. Visi dan moralitas pendidik serta anak didik yang rendah
  6. Mahalnya biaya pendidikan Memang menjadi masalah serius di negeri ini
Anggaran pendidikan yang sudah tinggi tidak menjamin sarana fisik yang baik dan biaya pendidikan yang terjangkau, penyebabnya jelas moralitas masyarakat yang mementingkan golongan, kepetingan pribadi dan mendapat keadaan yang tepat.

Keenam halangan ini hanya bisa hilang jika nilai luhur dan pendidikan karakter benar-benar terealisasikan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal berkaitan dengan permasalah diatas kiranya diperlukan suatu terobosan di dunia pendidikan untuk menciptakan generasi muda yang berkarakter dan berprestas tinggi. Untuk mencapai itu diperlukan inovasi dan pengembangan nilai disiplin serta komitmen dari setiap perangkat sekolah agar pendidikan karakter bisa terus berjalan. Dampak dari pendidikan karakter dapat membangun individu untuk mengenali dirinya sendiri dan mampu menetapkan tujuan pendidikannya.
Pendidikan karakter sebenarnya sudah ada sejak dulu seperti apa yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara melalui Among Metode, dimana ada tiga unsur pendidikan yang harus berjalan sinergis yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan Among Metode diharapkan anak akan tumbuh sesuai kodrat (naturelijke groei) dan keadaan budaya sendiri (cultuur histories). Sehingga ada tiga hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang berpendidikan yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen dan konsentris (Ki Hajar Dewantara). Perhatikan kata-kata Ki Hajar Dewantara berikut “membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan disiplin terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri, dan semua ini dapat dimulai dari kita semua. Sudahkan anda berkomitmen terhadap hal ini?
Sebagai informasi tambahan, kami memberikan E-book Gratis 6 Cara Mendisiplinkan Anak yang dapat anda pelajari agar kita semua dapat memaksimalkan pendidikan karakter di negara kita dan ikut menciptakan kehidupan yang lebih baik serta mewarisikan hal terindah bagi anak cucu kita.



By : Timothy Wibowo

Kekerasan pada anak-Child Bullying




Tahun 2007 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya kasus seorang anak kecil, Raju yang berasal dari Langkat, Sumatera, yang menjadi berita karena dihukum di pengadilan untuk kasus intimidasi yang dilakukannya terhadap bocah sebayanya. Selain itu, banyak kasus bunuh diri yang dilakukan anak tingkat Sekolah Dasar ataupun Sekolah Menengah Pertama yang biasanya dilatarbelakangi oleh tidak adanya dana untuk membayar uang SPP. Dan masalah ini dianggap sebagai dampak dari permasalahan ekonomi yang melanda negara kita. Alhasil, penyelesaian dari masalah ini adalah memberikan subsidi dalam hal pendanaan pendidikan. Namun, benarkah ekonomi adalah latar belakang timbulnya permasalahan pada anak-anak kita sehingga memicu terjadinya tindakan bunuh diri bahkan membunuh teman sebaya? Kasus penggencetan dengan kekerasan tidak hanya pada anak tetapi juga pada orang dewasa. Kasus kekerasan pada institut pendidikan yang seharusnya menghasilkan pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab juga terjadi. Karena itu penting diketahui mengenai masalah ini dari masa kanak-kanak agar tidak berlanjut.

Sebagai orang yang bertanggung jawab mengenai perkembangan dan pertumbuhan anak, orang tua dan orang dewasa yang berada sekitar anak-anak ada baiknya mengetahui perubahan apa yang terjadi pada sikap dan perilaku anak sehingga bisa mewaspadai apa yang sedang terjadi pada psikis anak-anak kita. Child Bullying lebih sering timbul pada keadaan dimana terjadi hubungan sosial, misalnya di sekolah dan di tempat-tempat pergaulan anak-anak.
Banyak hal yang perlu diwaspadai, mulai dari apakah anak-anak kita telah memilih teman yang benar? apakah anak diterima dalam lingkungan sosial tempat dia bersekolah? apakah ada kekurangan yang dimiliki oleh anak yang potensial untuk dijadikan korban Bullying? bagaimana kita sebagai orang tua dapat mengetahui anak kita menjadi korban atau bahkan orang pelaku tindakan bullying? Apa yang harus dilakukan sebagai orang tua? Semua tanda tanya diatas akan dijawab melalui highlights edisi ini, yang akan sedikit banyak membuka wawasan kita tentang tindak kekerasan ini atau yang lebih sering kita dengar dengan Child Bullying.

Istilah Bullying atau penggencetan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku agresif yang melibatkan ketidakseimbangan antara tenaga dan kekuatan. Istilah ini belum tersosialisasi dengan baik. Tidak semua masyarakat yang tahu dan mengerti tentang istilah ini. Untuk masalah penggencetan sendiri dianggap sebagai hal biasa yang dilakukan oleh anak-anak, karena itu merupakan salah satu bagian dalam pergaulan mereka. Dikatakan bahwa bullying merupakan konflik antara anak-anak, merupakan persoalan yang terjadi pada usia anak-anak kecil, merupakan masalah sosial yang sudah menjadi santapan berita-berita yang kita dengar tiap-tiap hari. Dan masih banyak lagi berbagai pemikirian tentang bullying. Untuk mengetahui kekeliruan pemikiran tersebut, dalam artikel Mitos Kelirumologi Bullying akan di ungkap secara terbuka.

Apa yang dimaksud dengan bullying? Secara definisi, bullying merupakan suatu tindakan agresi yang dilakukan dengan menggunakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun mental. Beberapa terminologi/istilah lain yang biasanya digunakan adalah Penindasan atau Penggencetan. Tindakan ini tidak hanya mempengaruhi si pelaku dan korban, namun juga dapat mengakibatkan stress pada korban. Menariknya, frekuensi kejadian ini sangat tinggi pada lembaga pendidikan formal yaitu sekolah. Bentuk dari tindakan ini tidak hanya secara langsung secara verbal ataupun fisik, namun dapat berupan bentuk tidak langsung melalui penggunaan media seperti SMS, email, telepon dan berbagai cara lainnya. Apa saja latar belakang timbulnya tindakan penindasan ini? Anak-anak dengan keadaan apakah yang potensial untuk di gencet? Apakah anak-anak kita adalah korban dari tindakan penggencatan, bagaiman mengetahui hal tersebut? Apakah akibat yang ditimbulkan dari penggencetan ini? Untuk mengetahui seluruh jawaban atas pertanyaan diatas, akan dipaparkan secara lengkap dalam artikel Child Bullying.

Anak seringkali tidak menceriterakan pada orang tua mereka bahwa mereka mengalami penggencetan, karena perasaan malu yang dimiliki, risih, takut terhadap ancaman anak yang melakukan penggencetan. Butuh suatu keberanian yang besar bagi seornag anak untuk menceriterakan apa yang dialami olehnya. Sebagai orang tua, akan sangat penting untuk memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perkembangan sikap anak. Dan jangan takut untuk mencurigai bahwa salah satu penyebab perubahan sikap ini dikarenakan oleh tindakan penggencatan yang dialami. Apakah yang harus dilakukan bila anak anda digencet? Dukungan dari orang tua secara objektif sangat diperlukan dalam penanganan masalah ini. Jika tindakan tersebut terjadi dalam lingkungan sekolah, alangkah baik jika orang tua dengan bijak membicarakan masalah ini dengan pihak sekolah secara dua arah. Bagaimana peran orang tua dalam menyikapi permasalah ini akan di kupas dalam artikel Child Bullying-Peranan Orang Tua

Kenapa perilaku ini begitu penting? Apa yang akan diakibatkan oleh perilaku ini sehingga setiap orang tua diajak untuk membuka mata mereka agar mengenali apakah anak kita adalah pelaku atau korban dari tindakan ini? Dalam artikel Listen to them; Bullies and Victims ini, akan di berikan beberapa kejadian atau kasus dan testimoni dari anak-anak yang menjadi pelaku dan korban dari tindakan ini.

Menjadi kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan..saat bermain, belajar dan mengeksplorasi dunia..
menjadi dewasa adalah masa yang menyenangkan,.bertanggungjawab, menentukan pilihan hidup..
Menjadi orang tua adalah menyenangkan..berbagi, melindungi,membimbing..
Persamaan semuanya adalah apapun masa hidup kita, kita terus belajar,.belajar untuk mengenali dunia, belajar untuk mengenali lingkungan, belajar untuk menghadapi tantangan..

Ketakutan muncul karena ketidaktahuan..
ketidaktahuan sirna dengan pengetahuan..
pengetahuan datang dengan pelajaran..
Mari kita terus belajar..

Oleh : dr Olien

Senin, 10 September 2012

Mengembangkan Pend. Karakter di Sekolah


Pendidikan Karakter perlu dikembangkan di sekolah. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Adapun acuan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan sebagaimana uraian berikut.
1. Olah Hati (Spiritual and emotional development). Olah hati bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional.
2. Olah Pikir (intellectual development). Olah pikir bermuara pada pengelolaan intelektual.
3. Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development). Olah raga bermuara pada pengelolaan fisik.
4. Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Olah rasa bermuara pada pengelolaan kreativitas
Pengembangan pendidikan karakter bisa menggunakan kurikulum berkarakter atau “Kurikulum Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Integrated Curriculum). Kurikulum ini merupakan kurikulum terpadu yang menyentuh semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.
Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat tersusun dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik). Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.
Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry, dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara” mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang. Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami, natural, nyata, dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan atau sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.
Tujuan model pendidikan holistik berbasis karakter adalah membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati) bisa dilakukan dengan beberapa langkah sebagaimana uraian berikut.
1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning).
2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good.
4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
5) Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip.

Sumber: